Sabtu, 08 September 2012

Dear Soledad dibalik frekuensi


Entah sudah berapa lama aku duduk dalam keremangan pijar lampu 15 watt, menerangi setiap jengkal kamarku dengan cahaya samar-samar, Jumat 16 September, saat hujan mulai membasahi pucuk-pucuk 1001 macam jenis dedaunan di luar sana. Entah sudah berapa lama pula aku bercinta dalam nalarku, dengan sederet kalimat-kalimat prosa-puisi mentah, menanti sentuhan tanganku tuk merangkainya menjadi sebuah tulisan usang. Hmm…Perilaku klasik yang dilakukan setiap jiwa dengan kebiasaan yang sama sepertiku. Aku akui aku bukan ahli menulis sebuah prosa, bukan pula lelaki penakluk romantisme seperti yang kau fatwakan, yang dengan lihai mencumbui rasamu dengan kata-kata indah, atau mempermainkan nalarmu dengan sederet percakapan filosofis, teologis, psikologis, sosiologis, dan biologis serta segala jenis orientasi epistemologis yang berakhiran “Is” itu… sebagai isyarat sifat perbincangan kita kemarin, sekarang/hari ini, dan nanti…

Ahh… Aku benci jika harus mengatakan, engkau membuatku tersesat di malam omongan sia-sia dan tenggelam dalam jurang khayalan palsu, seakan-akan nyata bagiku; mengetahui bahwa dalam keindahan ada kenyataan yang menghapuskan keraguan dan mencegah sikap skeptis. Lalu kemudian menghadirkan suatu terang yang menyilaukan, yang menjagaimu dari kepalsuan yang suram…. Aku tak ditakdirkan seperti dirimu! Sebab yang pasti, ku renungkan keterjagaan musim semi dan datangnya pagi, sebab keindahan adalah bagian dari mereka yang merenung…. Terlalu absurdkah eksplanasiku selama ini Soledad?

Karenamu aku tak pernah menyangka bisa menulis prosa-puisi ini dengan berbagai reaksi ion-ion rasa, entahkah itu proton, elektron atau neutron! Kau yang menantangku Soledad! Maka ku jawab tantanganmu! Aku pikir wajar saja! Bukankah aksi sama dengan minus reaksi (Aksi= -Reaksi) seturut hukum fisika gerak?
Atau terlalu kejamkah diriku?


Masih tentangmu….
Kau membuka mata jiwaku tentang sebait istilah katastrofa cinta yang seringkali disenandungkan generasi muda zaman edan ini yang belum 17 tahun ke atas sebagai omong kosong modern, sebagai pelampiasan dan bahkan sebagai permainan tiki-taka yang memabukkan dan mencenggangkan. Ahh…mengapa harus aku yang mengalaminya? Mengapa bukan jiwa jejaka lain, yang tak terhempas dalam distansi dan diferensiasi kosmos serta waktu dan saat? Dan mari pikirkan lagi tentang harapan….Ku dengar jiwaku berbisik tentangmu ketika gulungan awan di atas kepalaku bergerak dilematis, berharap tembang cantate gregorian ‘Asperges Me’ bisa mengabulkan doanya. Begitukah maksudmu? Wahai Soledad…Aku tak memaksamu untuk tenggelam dalam sebuah kepercayaan atau keyakinan seperti yang diproklamasikan oleh kaum cendekiawan dahulu tentang prinsip limitasi dari esensi sebuah istilah ‘Isme” versi gue ! Apa gunanya sesungging senyuman bila wajahmu muram? Lalu apa arti dari sebuah harapan bila rasamu terbelenggu?

Ingin ku katakan pada jiwaku tuk beristirahat sebentar saja dari kemilau warna-warni dunia yang plural dan universal bahkan untuk sebuah rasa yang telah lama ku kenal lewat definisi leksikal, tapi takkan pernah bisa ku mengerti walau nalarku mungkin bisa seluas filosofi eksistensialisme Heidegger, Kierkegaard, Sartre atau Levinas yang dengan intuisinya menampar ketiga eksistensialis itu dengan konsep filsafat perjumpaan “Aku Ada Karena Kau Ada”. Aku ingin beristirahat sebentar saja dari setiap kenyataan yang membelenggu helaan panjang nafasku, dari beberapa baris kata yang ku senandungkan di balik suara bariton atau bass milikku. Aku ingin sekali menampar wajah harapan dengan sejuta kecaman dan ancaman jika memberi peluang bagi rasa dan untuk cinta dalam jiwaku. Setidaknya jangan sekarang. Pergi! dan Jangan ganggu aku! Haruskah ku tegaskan itu padamu Soledad?


Atau haruskah ku absurditaskan cita-cita demi sebuah fenomenologi cinta yang akurat, tajam, terpercaya, aktual, menarik, inspiratif dan bermanfaat seturut penilaian baku hasil kesepakatan umum? Atau haruskah ku pecundangi prinsipku dengan sederet ketakutan dan kegentaran akan dahsyatnya Kung-Fu Cinta dalam tarian Tai-Chi-nya seturut ritme pantaisme Yin-Yang? Dan masih tentang cinta… Haruskah aku menjadi Judas zaman modern dengan kebiasaan berpuitis tuk mengkhianati diriku sendiri lewat rentetan komunikasi interval, horizontal selama kurang lebih 30 hari denganmu, 30 pesan layanan telkomsel gratis, 30 rintik hujan yang menari di atap rumahku hingga dering telepon reot itu berbunyi tanda tiba saatnya kita bersua lewat suara, intonasi dan harmonisasi sol-mi-sa-si, vokalisasi dalam frekuensi? Ahhh…. 30 keping perak itu! Terlalu runyam, membuatku tak berhenti menggumam!

Aku tak ingin menasihatimu dengan rumus kaum berjubah hasil abstraksi nalar masa mudaku selama 8 tahun, apalagi mengkhotbahimu dengan eksplanasi teoretis eksegetis-biblis, teologis-biblis atau filosofis-teologis yang sangat kesohor pada zamanku dulu, hingga akhirnya mengajak darah muda kami berlomba-lomba untuk mempostingnya!……… Tidak!!! Telah ku kuburkan semua itu dalam ruang dan relung jiwaku. Ku kemas dalam bungkusan 8-9 tahun pengalaman yang tersimpan rapat dalam kenangan, tanpa ada duplikat yang tersisa! Kuncinya pun telah ku buang dalam helaan nafas waktu dan saat ketika dualisme dan absolutisme hadir dan menancapkan taringnya mencipratkan aroma baru, memperkosa paradigmaku dalam gaungan skeptis dan bahkan nihilis! Bukankah itu cukup tragis? “Hei…Tapi sungguh, jika bukan karena mereka, aku telah lama mengidap siphilis!,” Kata temanku dengan lekukan wajah berbentuk segilima, berambut semrawut yang doyan sekali tidur di
kelas.

Lalu…Ke mana rasaku padamu? Mengapa ke sini dan bukan ke sana? Salahkah aku bila ku halau pergi ‘res extensa’ demi sebuah ‘res cogitans’ , demi sebuah citra dan cita tanpa mengesampingkan cinta? Tahukah kamu bahwa rasamu sementara ku terjemahkan dalam ungkapan nyata dan sangat fisikalistis. Sayang sekali ! jiwaku terlalu angkuh, bahkan tak segan-segan menghadiahi arogansi dengan bogem mentah tuk membuatnya kesakitan sambil memberikan padaku arogansi yang lain yang lebih hebat lagi! Tidak! Tidak ada cinta saat ini ! Aku tak peduli walau 3500 little cupid menghajarku dengan panahnya. Aku tak peduli walau Guardian Angel-ku membisik namamu dan berbagai nama Soledad dan Monalisa yang lain di telingaku. Yang aku tahu hanya sahabat! Terserah juga jika kau mau berteman denganku atau tidak!
Jika rasamu semakin besar untukku, mengapa tak kau tampar saja rasa itu tuk membuatnya kapok dan bertobat kembali ke jalan benar. Haruskah ku ulangi lagi penegasanku? Mengertikah kamu akan sebuah penentuan? Apakah ada perbedaan signifikan antara diputuskan dan ditentukan? Maaf jika aku terlalu jujur. Tapi tak mengapa bila kau anggap itu sebaliknya. Tak ada alasan yang cukup kuat, yang mengharuskan aku menjadi malu dengan keputusan yang kuambil, sebelum kau hadir dan menyiratkan beberapa buah prediksi dan observasi apa dan bagaimana kabarmu di sana.

Aku menghargaimu sama seperti aku menghargai jiwaku. Tapi itu bukan berarti aku harus mengorbankan sebuah asa! Jika bisa, aku tak peduli walau harus ku daki Sinai tuk menyuap Tuhan dengan doaku demi sebuah cita! Aku memang pengecut dan terlalu takut terhadap yang namanya cita. Dia ku anggap ibarat ‘ambrosia’ makanan para dewa penghuni olympus. Tidak! Aku masih tetap sama dan tak bergeming, Soledad!

Kemarin…jiwaku berbisik padaku tentang potret wajah masa mudaku yang kelam, nista dan noda…Dia menuturkan indahnya kenangan itu ketika masa tuaku yang bahagia bisa ku capai. Dia menasihatiku tuk melihat, sebuah senyuman yang menghiasi bibir bukan karena cinta dan rasa semata, tapi juga karena upaya dan air mata, bahkan bila perlu bermandi darah! Hei Soledad…Pandanglah gunung dan bukit-bukit yang menghijau. Mereka tetap menghijau bukan karena cinta tanaman semata, tapi karena mereka terus memberi ruang bagi upaya jiwa-jiwa flora tuk tumbuh, walau terik siang menyengat, dan kemarau merebak. Malam pun tak kehilangan hasrat tuk membuai jiwa-jiwa putera-puteri dunia dalam balutan keheningannya, memberi setiap kemungkinan demi sebuah kepastian akan hari esok, dan untuk itu “Aku takkan mengkhianati prinsipku sendiri!” Ku harap kau memahami sebait pengertian yang ku artikan padamu (*)



Salam
“Sepenggal Jiwa yang Terpenjara Asa”

“Vanjer”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar